Doamemiliki berbagai bentuk ekspresi, tetapi harus ada waktu dan tempat bagi doa yang tidak terganggu atau semua bentuk ekspresi doa itu akan berhenti atau akan menjadi dingin, lesu, atau tidak menghasilkan buah. Manusia-manusia Allah perlu memiliki tempat doa. Tanpa sebuah tempat doa, mereka akan merasa kehilangan lebih dari tubuh Allah Azza Wa Jalla berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasiq membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya (yang sebenar), yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu”. 📚 (QS. al-Hujurat: 6) Namun ketika mereka mengajak mencari tempat lain, saya menyemangati dua temannya untuk tetap bertahan. Saya datang bersama lima orang dokter KKHI Makkah. Mudah-mudahan ada keajaiban pembatas jalan dibuka. "Saya punya firasat pasti segera dibuka. Allah tergantung prasangka hambanya," begitu kata saya kepada dua orang dokter Asep dan Zakir Akupercaya 100 persen tidak ada orang yang dapat hidup tanpa Allah!” Sekalipun iman Diaz menolongnya untuk bertahan dari hari ke hari, ia memahami bahwa ia tidaklah kebal terhadap kesulitan hidup. Imannya tidak mencegah kejadian buruk terjadi dalam hidupnya, tetapi iman itu sanggup menolongnya mengatasi masa-masa sulit yang akan terjadi TulisanIni Dari Depan Sampe Belakang Berisi Bantahan Terhadap Kaum Musyabbihah (Wahhabiyyah Sekarang), Waspadai Mereka!! Share Wednesday, Tanpadisedari oleh kiTa sebenarnya, banyak benda di sekitar kita yang berpotensi menjadi sarang bakteria dan tempat berpindahnya virus, bakteria dan penyakit. Diantara semua benda yang sering dipegang, ada 10 benda paling kotor yang cukup membahayakan walaUpun sebenarnya nampak bersih. AllahAda tanpa Tempat Keyakinan yang paling mendasar setiap Muslim adalah meyakini bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala Maha Sempurna dan Maha Suci dari segala kekurangan. Allah subhanahu wa ta‘ala Maha Suci dari menyerupai makhluk-Nya. Allah subhanahu wa ta‘ala juga Maha Suci dari tempat dan arah. Dalilatas ini adalah bahawa Dia ada tanpa permulaan dan tanpa tempat. Setelah mencipta tempat Dia tetap pada sifat-Nya yang Azali sebelum menciptakan tempat, ada tanpa tempat. Tidak boleh pada hak Allah adanya perubahan, baik pada Dzat-Nya mahupun pada sifat-sifat-Nya. Kerana sesuatu yang mempunyai tempat maka ia pasti mempunyai arah bawah Z8vBavz. Aqidah Imam Syafi'i, aqidah imam asy'ari, kitab aqidah syafi i, dalil allah ada tanpa tempat dan arah, ajaran imam syafii yang dilanggar oleh pengikutnya, kitab aqidah untuk pemula, dimanakah allah berada menurut islam, syubhat allah ada tanpa tempat, imam syafi i istiwa Imam asySyafi’i dengan nama Muhammad ibn Idris w 204 H, adalah seorang ulama di zaman Salaf terkemuka dan juga sebagai perintis madzhab Syafi’i, berkata إنه تعالى كان ولا مكان فخلق المكان وهو على صفة الأزلية كما كان قبل خلقه المكان ولا يجوز عليه التغير في ذاته ولا التبديل في صفاته إتحاف السادة المتقين بشرح إحياء علوم الدين, ج 2، ص 24 Artinya adalah “Sesungguhnya Allah ada tanpa permulaan dan tanpa tempat. Dan Allah menciptakan tempat, dan Allah Ta'ala tetap dengan sifat-sifat-Nya yang Azali sebelum Allah menciptakan tempat tanpa tempat. Dan Tidak boleh bagi-Nya berubah, baik pada Dzat maupun pada sifat-sifat-Nya” ref lihat az-Zabidi, Ithâf as-Sâdah al-Muttaqîn…, j. 2, h. 24. Dalam kitab karyanya Imam Syafi'i; al-Fiqh al-Akbar [selain Imam Abu Hanifah; Imam asy-Syafi'i juga menuliskan Risalah Aqidah Ahlussunnah dengan judul al-Fiqh al-Akbar], Imam asy-Syafi’i berkata واعلموا أن الله تعالى لا مكان له، والدليل عليه هو أن الله تعالى كان ولا مكان له فخلق المكان وهو على صفته الأزلية كما كان قبل خلقه المكان، إذ لا يجوز عليه التغير في ذاته ولا التبديل في صفاته، ولأن من له مكان فله تحت، ومن له تحت يكون متناهي الذات محدودا والحدود مخلوق، تعالى الله عن ذلك علوا كبيرا، ولهذا المعنى استحال عليه الزوجة والولد لأن ذلك لا يتم إلا بالمباشرة والاتصال والانفصال الفقه الأكبر، ص13 “Ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah tidak bertempat. Dalil atas ini adalah bahwa Allah ada tanpa permulaan dan tanpa tempat. Setelah menciptakan tempat Allah tetap pada sifat-Nya yang Azali sebelum menciptakan tempat, Allah ada tanpa tempat. Tidak boleh pada hak Allah adanya perubahan, baik pada Dzat-Nya maupun pada sifat-sifat-Nya. Karena sesuatu yang memiliki tempat maka ia pasti memiliki arah bawah, dan bila demikian maka mesti ia memiliki bentuk tubuh dan batasan, dan sesuatu yang memiliki batasan mestilah ia merupakan makhluk, Allah Maha Suci dari pada itu semua. Karena itu pula mustahil atas-Nya memiliki istri dan anak, sebab perkara seperti itu tidak terjadi kecuali dengan adanya sentuhan, menempel, dan terpisah, dan Allah mustahil bagi-Nya terbagi-bagi dan terpisah-pisah. Karenanya tidak boleh dibayangkan dari Allah adanya sifat menempel dan berpisah. Oleh sebab itu adanya suami, istri, dan anak pada hak Allah adalah sesuatu yang mustahil” al-Fiqh al-Akbar, h. 13, Imam Syafi'i. Pada bagian lain dalam kitab yang sama tentang firman Allah Thaha 5 ar-Rahman Ala al-Arsy Istawa, Imam asy-Syafi’i berkata إن هذه الآية من المتشابهات، والذي نختار من الجواب عنها وعن أمثالها لمن لا يريد التبحر في العلم أن يمر بها كما جاءت ولا يبحث عنها ولا يتكلم فيها لأنه لا يأمن من الوقوع في ورطة التشبيه إذا لم يكن راسخا في العلم، ويجب أن يعتقد في صفات الباري تعالى ما ذكرناه، وأنه لا يحويه مكان ولا يجري عليه زمان، منزه عن الحدود والنهايات مستغن عن المكان والجهات، ويتخلص من المهالك والشبهات الفقه الأكبر، ص 13 “Sesungguhnya ayat ini termasuk ayat mutasyabihat. Jawaban yang kita pilih tentang hal ini dan ayat-ayat yang semacam dengannya bagi orang yang tidak memiliki kompetensi di dalamnya adalah agar mengimaninya dan tidak - secara mendetail - membahasnya dan membicarakannya. Sebab bagi orang yang tidak kompeten dalam ilmu ini ia tidak akan aman untuk jatuh dalam kesesatan tasybîh. Kewajiban atas orang ini -dan semua orang Islam- adalah meyakini bahwa Allah seperti yang telah kami sebutkan di atas, Dia tidak diliputi oleh tempat, tidak berlaku bagi-Nya waktu, Dia Maha Suci dari batasan-batasan bentuk dan segala penghabisan, dan Dia tidak membutuhkan kepada segala tempat dan arah, Dia Maha suci dari kepunahan dan segala keserupaan” al-Fiqh al-Akbar, h. 13, Imam Syafi'i. Secara detail didalam kitab yang sama, bahwa Imam asy-Syafi’i telah membahas bahwa adanya batasan bentuk dan penghabisan adalah sesuatu yang mustahil bagi Allah. Karena pengertian batasan al-hadd; bentuk adalah ujung dari sesuatu dan penghabisannya. Dalil bagi kemustahilan hal ini bagi Allah adalah bahwa Allah ada tanpa permulaan dan tanpa bentuk, maka demikian pula Dia tetap ada tanpa penghabisan dan tanpa bentuk. Karena setiap sesuatu yang memiliki bentuk dan penghabisan secara logika dapat dibenarkan bila sesuatu tersebut menerima tambahan dan pengurangan, juga dapat dibenarkan adanya sesuatu yang lain yang serupa dengannya. Kemudian dari pada itu “sesuatu” yang demikian ini, secara logika juga harus membutuhkan kepada yang menjadikannya dalam bentuk dan batasan tersebut, dan ini jelas merupakan tanda-tanda makhluk yang nyata mustahil bagi Allah. Perlu diketahui bahwa Imam asy-Syafi’i adalah seorang Imam mujtahid yang madzhabnya tersebar di seluruh pelosok dunia, telah menetapkan dengan jelas bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah, maka bagi siapapun yang bukan seorang mujtahid tidak selayaknya menyalahi dan menentang pendapat Imam mujtahid. Sebaliknya, seorang yang tidak mencapai derajat mujtahid ia wajib mengikuti pendapat Imam mujtahid. Jangan pernah sedikitpun anda meyakini keyakinan tasybih menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya, seperti keyakinan kaum Musyabbihah, sekarang Wahhabiyyah yang menetapkan bahwa Allah bertempat di atas arsy. Bahkan mereka juga mengatakan Allah bertempat di langit. Na’udzu Billahi Minhum..... Allah Ada Tanpa Tempat dan Arah Allah ta’ala berfirman “Dia Allah tidak menyerupai sesuatupun dari makhluk-Nya baik dari satu segi maupun semua segi, dan tidak ada sesuatupun yang menyerupai-Nya”. as-Syura 11 Ayat ini adalah ayat yang paling jelas dalam al Qur’an yang menjelaskan bahwa Allah sama sekali tidak menyerupai makhluk-Nya. Ulama Ahlussunnah menyatakan bahwa alam makhluk Allah terbagi atas dua bagian; yaitu benda dan sifat benda. Kemudian benda terbagi menjadi dua, yaitu benda yang tidak dapat terbagi lagi karena telah mencapai batas terkecil para ulama menyebutnya dengan al Jawhar al Fard, dan benda yang dapat terbagi menjadi bagian-bagian jisim. Benda yang terakhir ini terbagi menjadi dua macam; 1. Benda Lathif sesuatu yang tidak dapat dipegang oleh tangan, seperti cahaya, kegelapan, ruh, angin dan sebagainya. 2. Benda Katsif sesuatu yang dapat dipegang oleh tangan seperti manusia, tanah, benda-benda padat dan lain sebagainya. Adapun sifat-sifat benda adalah seperti bergerak, diam, berubah, bersemayam, berada di tempat dan arah, duduk, turun, naik dan sebagainya. Ayat di atas menjelaskan kepada kita bahwa Allah ta’ala tidak menyerupai makhluk-Nya, bukan merupakan al Jawhar al Fard, juga bukan benda Lathif atau benda Katsif. Dan Dia tidak boleh disifati dengan apapun dari sifat-sifat benda. Ayat tersebut cukup untuk dijadikan sebagai dalil bahwa Allah ada tanpa tempat dan arah. Karena seandainya Allah mempunyai tempat dan arah, maka akan banyak yang serupa dengan-Nya. Karena dengan demikian berarti ia memiliki dimensi panjang, lebar dan kedalaman. Sedangkan sesuatu yang demikian, maka ia adalah makhluk yang membutuhkan kepada yang menjadikannya dalam dimensi tersebut. Rasulullah shallallahu alayhi wasallam bersabda “Allah ada pada azal keberadaan tanpa permulaan dan belum ada sesuatupun selain-Nya”. al Bukhari, al Bayhaqi dan Ibn al Jarud. Makna hadits ini bahwa Allah ada pada azal keberadaan tanpa permulaan, tidak ada sesuatu selain-Nya bersama-Nya. Pada azal belum ada angin, cahaya, kegelapan, Arsy, langit, manusia, jin, malaikat, waktu, tempat dan arah. Maka berarti Allah ada sebelum terciptanya tempat dan arah, maka Ia tidak membutuhkan kepada keduanya dan Ia tidak berubah dari semula, yakni tetap ada tanpa tempat dan arah, karena berubah adalah ciri dari sesuatu yang baru makhluk. Al Imam Abu Hanifah dalam kitabnya al Fiqh al Absath berkata “Allah ta’ala ada pada azal keberadaan tanpa permulaan dan belum ada tempat, Dia ada sebelum menciptakan makhluk, Dia ada dan belum ada tempat, makhluk dan sesuatu dan Dia pencipta segala sesuatu”. Al Imam Fakhruddin ibn Asakir W. 620 H dalam risalah aqidahnya mengatakan “Allah ada sebelum ciptaan, tidak ada bagi-Nya sebelum dan sesudah, atas dan bawah, kanan dan kiri, depan dan belakang, keseluruhan dan bagian-bagian, tidak boleh dikatakan “Kapan ada-Nya ?”, “Di mana Dia ?” atau “Bagaimana Dia ?”, Dia ada tanpa tempat”. Maka sebagaimana dapat diterima oleh akal, adanya Allah tanpa tempat dan arah sebelum terciptanya tempat dan arah, begitu pula akal akan menerima wujud-Nya tanpa tempat dan arah setelah terciptanya tempat dan arah. Hal ini bukanlah penafian atas adanya Allah. Al Imam al Bayhaqi W. 458 H dalam kitabnya al Asma wa ash-Shifat, hlm. 506, mengatakan “Sebagian sahabat kami dalam menafikan tempat bagi Allah mengambil dalil dari sabda Rasulullah shalllallahu alayhi wa sallam Maknanya “Engkau azh-Zhahir yang segala sesuatu menunjukkan akan ada-Nya, tidak ada sesuatu di atas-Mu dan Engkaulah al Bathin yang tidak dapat dibayangkan tidak ada sesuatu di bawah-Mu” Muslim dan lainnya. Jika tidak ada sesuatu di atas-Nya dan tidak ada sesuatu di bawah-Nya berarti Dia tidak bertempat”. Hadits Jariyah Sedangkan salah satu riwayat hadits Jariyah yang zhahirnya member persangkaan bahwa Allah ada di langit, maka hadits tersebut tidak boleh diambil secara zhahirnya, tetapi harus ditakwil dengan makna yang sesuai dengan sifat-sifat Allah, jadi maknanya adalah Dzat yang sangat tinggi derajat-Nya sebagaimana dikatakan oleh ulama Ahlussunnah Wal Jama’ah, di antaranya adalah al Imam an-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim. Sementara riwayat hadits Jariyah yang maknanya shahih adalah Al Imam Malik dan al Imam Ahmad meriwayatkan bahwasanya salah seorang sahabat Anshar datang kepada Rasulullah Shallallahu alayhi wasallam dengan membawa seorang hamba sahaya berkulit hitam, dan berkata “Wahai Rasulullah sesungguhnya saya mempunyai kewajiban memerdekakan seorang hamba sahaya yang mukmin, jika engkau menyatakan bahwa hamba sahaya ini mukminah maka aku akan memerdekakannya, kemudian Rasulullah berkata kepadanya Apakah engkau bersaksi tiada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah? Ia budak menjawab “Ya”, Rasulullah berkata kepadanya Apakah engkau bersaksi bahwa saya adalah Rasul utusan Allah? Ia menjawab “Ya”, kemudian Rasulullah berkata Apakah engkau beriman terhadap hari kebangkitan setelah kematian? ia menjawab “Ya”, kemudian Rasulullah berkata Merdekakanlah dia”. Al Hafizh al Haytsami W. 807 H dalam kitabnya Majma’ az-Zawa-id Juz I, hal. 23 mengatakan “Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan perawi-perawinya adalah perawi-perawi shahih”. Riwayat inilah yang sesuai dengan prinsip-prinsip dan dasar ajaran Islam, karena di antara dasar-dasar Islam bahwa orang yang hendak masuk Islam maka ia harus mengucapkan dua kalimat syahadat, bukan yang lain. Tidak Boleh dikatakan Allah ada di atas Arsy atau ada di mana-mana Senada dengan hadits yang diriwayatkan oleh al Bukhari di atas perkataan sayyidina Ali ibn Abi Thalib -semoga Allah meridlainya- Maknanya “Allah ada pada azal dan belum ada tempat dan Dia Allah sekarang setelah menciptakan tempat tetap seperti semula, ada tanpa tempat” Dituturkan oleh al Imam Abu Manshur al Baghdadi dalam kitabnya al Farq bayna al Firaq h. 333. Karenanya tidak boleh dikatakan Allah ada di satu tempat atau di mana-mana, juga tidak boleh dikatakan Allah ada di satu arah atau semua arah penjuru. Syekh Abdul Wahhab asy-Sya’rani W. 973 H dalam kitabnya al Yawaqiit Wa al Jawaahir menukil perkataan Syekh Ali al Khawwash “Tidak boleh dikatakan bahwa Allah ada di mana-mana”. Aqidah yang mesti diyakini bahwa Allah ada tanpa arah dan tanpa tempat. Al Imam Ali -semoga Allah meridlainya- mengatakan yang maknanya “Sesungguhnya Allah menciptakan Arsy makhluk Allah yang paling besar untuk menampakkan kekuasaan-Nya bukan untuk menjadikannya tempat bagi Dzat-Nya” diriwayatkan oleh Abu Manshur al Baghdadi dalam kitab al Farq bayna al Firaq, hal. 333 Sayyidina Ali -semoga Allah meridlainya- juga mengatakan yang maknanya “Sesungguhnya yang menciptakan ayna tempat tidak boleh dikatakan bagi-Nya di mana pertanyaan tentang tempat, dan yang menciptakan kayfa sifat-sifat makhluk tidak boleh dikatakan bagi-Nya bagaimana” diriwayatkan oleh Abu al Muzhaffar al Asfarayini dalam kitabnya at-Tabshir fi ad-Din, hal. 98. A llah Maha suci dari Hadd Maknanya Menurut ulama tauhid yang dimaksud al mahdud sesuatu yang berukuran adalah segala sesuatu yang memiliki bentuk baik kecil maupun besar. Sedangkan pengertian al hadd batasan menurut mereka adalah bentuk baik kecil maupun besar. Adz-Dzarrah sesuatu yang terlihat dalam cahaya matahari yang masuk melalui jendela mempunyai ukuran demikian juga Arsy, cahaya, kegelapan dan angin masing-masing mempunyai ukuran. Al Imam Sayyidina Ali -semoga Allah meridlainya- berkata yang maknanya “Barang siapa beranggapan berkeyakinan bahwa Tuhan kita berukuran maka ia tidak mengetahui Tuhan yang wajib disembah belum beriman kepada-Nya” diriwayatkan oleh Abu Nu’aym W. 430 H dalam Hilyah al Auliya’, juz I hal. 72. Maksud perkataan sayyidina Ali tersebut adalah sesungguhnya berkeyakinan bahwa Allah adalah benda yang kecil atau berkeyakinan bahwa Dia memiliki bentuk yang meluas tidak berpenghabisan merupakan kekufuran. Semua bentuk baik Lathif maupun Katsif, kecil ataupun besar memiliki tempat dan arah serta ukuran. Sedangkan Allah bukanlah benda dan tidak disifati dengan sifat-sifat benda, karenanya ulama Ahlussunnah Wal Jama’ah mengatakan “Allah ada tanpa tempat dan arah serta tidak mempunyai ukuran, besar maupun kecil”. Karena sesuatu yang memiliki tempat dan arah pastilah benda. Juga tidak boleh dikatakan tentang Allah bahwa tidak ada yang mengetahui tempat-Nya kecuali Dia. Adapun tentang benda Katsif bahwa ia mempunyai tempat, hal ini jelas sekali. Dan mengenai benda lathif bahwa ia mempunyai tempat, penjelasannya adalah bahwa ruang kosong yang diisi oleh benda lathif, itu adalah tempatnya. Karena definisi tempat adalah ruang kosong yang diisi oleh suatu benda. Al Imam As-Sajjad Zayn al Abidin Ali ibn al Husain ibn Ali ibn Abi Thalib 38 H-94 H berkata “Engkaulah Allah yang tidak diliputi tempat”, dan dia berkata “Engkaulah Allah yang Maha suci dari hadd benda, bentuk, dan ukuran”, beliau juga berkata “Maha suci Engkau yang tidak bisa diraba maupun disentuh” yakni bahwa Allah tidak menyentuh sesuatupun dari makhluk-Nya dan Dia tidak disentuh oleh sesuatupun dari makhluk-Nya karena Allah bukan benda. Allah Maha suci dari sifat berkumpul, menempel, berpisah dan tidak berlaku jarak antara Allah dan makhluk-Nya karena Allah bukan benda dan Allah ada tanpa arah. Diriwayatkan oleh al Hafizh az-Zabidi dalam al Ithaf dengan rangkaian sanad muttashil mutasalsil yang kesemua perawinya adalah Ahl al Bayt; keturunan Rasulullah. Hal ini juga sebagai bantahan terhadap orang yang berkeyakinan Wahdatul Wujud dan Hulul. Bantahan Ahlussunnah terhadap Keyakinan Tasybih; bahwa Allah bertempat, duduk atau bersemayam di atas Arsy. Al Imam Abu Hanifah -semoga Allah meridlainya- berkata “Barangsiapa yang mengatakan saya tidak tahu apakah Allah berada di langit ataukah berada di bumi maka dia telah kafir”. diriwayatkan oleh al Maturidi dan lainnya. Al Imam Syekh al Izz ibn Abd as-Salam asy-Syafi’i dalam kitabnya “Hall ar-Rumuz” menjelaskan maksud Imam Abu Hanifah, beliau mengatakan “Karena perkataan ini memberikan persangkaan bahwa Allah bertempat, dan barang siapa yang menyangka bahwa Allah bertempat maka ia adalah musyabbih orang yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya”. Demikian juga dijelaskan maksud Imam Abu Hanifah ini oleh al Bayadli al Hanafi dalam Isyarat al Maram. Al Imam al Hafizh Ibn al Jawzi W. 597 H mengatakan dalam kitabnya Daf’u Syubah at-Tasybih Maknanya “Sesungguhnya orang yang mensifati Allah dengan tempat dan arah maka ia adalah Musyabbih orang yang menyerupakan Allah dengan Makhluk-Nya dan Mujassim orang yang meyakini bahwa Allah adalah jisim benda yang tidak mengetahui sifat Allah”. Al Hafizh Ibnu Hajar al Asqalani W. 852 H dalam Fath al Bari Syarh Shahih al Bukhari mengatakan “Sesungguhnya kaum Musyabbihah dan Mujassimah adalah mereka yang mensifati Allah dengan tempat padahal Allah maha suci dari tempat”. Di dalam kitab al Fatawa al Hindiyyah, cetakan Dar Shadir, jilid II, h. 259 tertulis sebagai berikut “Adalah kafir orang yang menetapkan tempat bagi Allah ta’ala “. Juga dalam kitab Kifayah al Akhyar karya al Imam Taqiyyuddin al Hushni W. 829 H, Jilid II, h. 202, Cetakan Dar al Fikr, tertulis sebagai berikut “… hanya saja an-Nawawi menyatakan dalam bab Shifat ash-Shalat dari kitab Syarh al Muhadzdzab bahwa Mujassimah adalah kafir, Saya al Hushni berkata “Inilah kebenaran yang tidak dibenarkan selainnya, karena tajsim menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya dan meyakini bahwa Allah adalah jisim –benda- jelas menyalahi al Qur’an. Semoga Allah memerangi golongan Mujassimah dan Mu’aththilah golongan yang menafikan sifat-sifat Allah, alangkah beraninya mereka menentang Allah yang berfirman tentang Dzat-Nya asy-Syura 11 Maknanya “Dia Allah tidak menyerupai sesuatupun dari makhluk-Nya dan Dia disifati dengan sifat pendengaran dan penglihatan yang tidak menyerupai pendengaran dan penglihatan makhluk-Nya”. Ayat ini jelas membantah kedua golongan tersebut”. Imam Abu Hanifah Mensucikan Allah dari Arah Al Imam Abu Hanifah –semoga Allah meridlainya- dalam kitabnya al Washiyyah berkata yang maknanya “Bahwa penduduk surga melihat Allah ta’ala adalah perkara yang haqq pasti terjadi tanpa Allah disifati dengan sifat-sifat benda, tanpa menyerupai makhluk-Nya dan tanpa Allah berada di suatu arah” Ini adalah penegasan al Imam Abu Hanifah –semoga Allah meridlainya- bahwa beliau menafikan arah dari Allah ta’ala dan ini menjelaskan kepada kita bahwa ulama salaf mensucikan Allah dari tempat dan arah. Imam Malik Mensucikan Allah dari sifat Duduk, Bersemayam atau semacamnya Al Imam Malik –semoga Allah meridlainya– berkata “Ar-Rahman ala al Arsy istawa sebagaimana Allah mensifati Dzat hakekat-Nya dan tidak boleh dikatakan bagaimana, dan kayfa sifat-sifat makhluk adalah mustahil bagi-Nya” Diriwayatkan oleh al Bayhaqi dalam al Asma’ Wa ash-Shifat. Maksud perkataan al Imam Malik tersebut, bahwa Allah maha suci dari semua sifat benda seperti duduk, bersemayam, berada di suatu tempat dan arah dan sebagainya. Sedangkan riwayat yang mengatakan wa al Kayf Majhul adalah tidak benar dan Al Imam Malik tidak pernah mengatakannya. Dzat Allah Tidak Bisa Dibayangkan Al Imam asy-Syafi’i -semoga Allah meridlainya– berkata “Barang siapa yang berusaha untuk mengetahui pengatur-Nya Allah hingga meyakini bahwa yang ia bayangkan dalam benaknya adalah Allah, maka dia adalah musyabbih orang yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya, kafir. Dan jika dia berhenti pada keyakinan bahwa tidak ada tuhan yang mengaturnya maka dia adalah mu’aththil -atheis- orang yang meniadakan Allah. Dan jika berhenti pada keyakinan bahwa pasti ada pencipta yang menciptakannya dan tidak menyerupainya serta mengakui bahwa dia tidak akan bisa membayangkan-Nya maka dialah muwahhid orang yang mentauhidkan Allah; muslim”. Diriwayatkan oleh al Bayhaqi danlainnya Al Imam Ahmad ibn Hanbal dan al Imam Tsauban ibn Ibrahim Dzu an-Nun al Mishri, salah seorang murid terkemuka al Imam Malik -semoga Allah meridlai keduanya- berkata “Apapun yang terlintas dalam benakmu tentang Allah maka Allah tidak menyerupai itu sesuatu yang terlintas dalam benak” Diriwayatkan oleh Abu al Fadll at-Tamimi dan al Khathib al Baghdadi Hukum Orang yang meyakini Tajsim; bahwa Allah adalah Benda Syekh Ibn Hajar al Haytami W. 974 H dalam al Minhaj al-Qawim h. 64, mengatakan “Ketahuilah bahwasanya al Qarafi dan lainnya meriwayatkan perkataan asy-Syafi’i, Malik, Ahmad dan Abu Hanifah -semoga Allah meridlai mereka- mengenai pengkafiran mereka terhadap orangorang yang mengatakan bahwa Allah di suatu arah dan dia adalah benda, mereka pantas dengan predikat tersebut kekufuran”. Al Imam Ahmad ibn Hanbal –semoga Allah meridlainyamengatakan “Barang siapa yang mengatakan Allah adalah benda, tidak seperti benda-benda maka ia telah kafir” dinukil oleh Badr ad-Din az-Zarkasyi W. 794 H, seorang ahli hadits dan fiqh bermadzhab Syafi’I dalam kitab Tasynif al Masami’ dari pengarang kitab al Khishal dari kalangan pengikut madzhab Hanbali dari al Imam Ahmad ibn Hanbal. Al Imam Abu al Hasan al Asy’ari dalam karyanya an-Nawadir mengatakan “Barang siapa yang berkeyakinan bahwa Allah adalah benda maka ia telah kafir, tidak mengetahui Tuhannya”. As-Salaf ash-Shalih Mensucikan Allah dari Hadd, Anggota badan, Tempat, Arah dan Semua Sifat-sifat Makhluk Al Imam Abu Ja’far ath-Thahawi -semoga Allah meridlainya- 227-321 H berkata “Maha suci Allah dari batas-batas bentuk kecil maupunbesar, jadi Allah tidak mempunyai ukuran sama sekali, batas akhir, sisi-sisi, anggota badan yang besar seperti wajah, tangan dan lainnya maupun anggota badan yang kecil seperti mulut, lidah, anak lidah, hidung, telinga dan lainnya. Dia tidak diliputi oleh satu maupun enam arah penjuru atas, bawah, kanan, kiri, depan dan belakang tidak seperti makhluk-Nya yang diliputi enam arah penjuru tersebut”. Perkataan al Imam Abu Ja’far ath-Thahawi di atas merupakan Ijma’ konsensus para sahabat dan Salaf orang-orang yang hidup pada tiga abad pertama hijriyah. Diambil dalil dari perkataan tersebut bahwasanya bukanlah maksud dari mi’raj bahwa Allah berada di arah atas lalu Nabi Muhammad shallallahu alayhi wasallam naik ke atas untuk bertemu dengan-Nya, melainkan maksud mi’raj adalah memuliakan Rasulullah shalalllahu alayhi wasallam dan memperlihatkan kepadanya keajaiban makhluk Allah sebagaimana dijelaskan dalam al Qur’an surat al Isra ayat 1. Juga tidak boleh berkeyakinan bahwa Allah mendekat kepada Nabi Muhammad shallallahu alayhi wasallam sehingga jarak antara keduanya dua hasta atau lebih dekat, melainkan yang kepada Nabi Muhammad shallallahu alayhi wasallam di saat mi’rajadalah Jibril alayhissalam, sebagaimana diriwayatkan oleh al Imam al Bukhari W. 256 H dan lainnya dari as-Sayyidah Aisyah -semoga Allah meridlainya-, maka wajib dijauhi kitab Mi’raj Ibnu Abbas dan Tanwir al Miqbas min Tafsir Ibnu Abbas karena keduanya adalah kebohongan belaka yang dinisbatkan kepadanya. Sedangkan ketika seseorang menengadahkan kedua tangannya ke arah langit ketika berdoa, hal ini tidak menandakan bahwa Allah berada di arah langit. Akan tetapi karena langit adalah kiblat berdoa dan merupakan tempat turunnya rahmat dan barakah. Sebagaimana apabila seseorang ketika melakukan shalat ia menghadap ka’bah. Hal ini tidak berarti bahwa Allah berada di dalamnya, akan tetapi karena ka’bah adalah kiblat shalat. Penjelasan seperti ini dituturkan oleh para ulama Ahlussunnah Wal Jama’ah seperti al Imam al Mutawalli W. 478 H dalam kitabnya al Ghun-yah, al Imam al Ghazali W. 505 H dalam kitabnya Ihya Ulum ad-Din, al Imam an-Nawawi W. 676 H dalam kitabnya Syarh Shahih Muslim, al Imam Taqiyy ad-Din as-Subki W. 756 H dalam kitab as-Sayf ash-Shaqil dan masih banyak lagi. Perkataan al Imam at-Thahawi tersebut juga merupakan bantahan terhadap pengikut paham Wahdah al Wujud yang berkeyakinan bahwa Allah menyatu dengan makhluk-Nya atau pengikut paham Hulul yang berkeyakinan bahwa Allah menempati makhluk-Nya. Dan ini adalah kekufuran berdasarkan Ijma’ konsensus kaum muslimin sebagaimana dikatakan oleh al Imam as-Suyuthi W. 911 H dalam karyanya al Hawi li al Fatawi dan lainnya, juga para panutan kita ahli tasawwuf sejati seperti al Imam al Junaid al Baghdadi W. 297 H, al Imam Ahmad ar-Rifa’i W. 578 H, Syekh Abdul Qadir al Jilani W. 561 H dan semua Imam tasawwuf sejati, mereka selalu memperingatkan masyarakat akan orang-orang yang berdusta sebagai pengikut tarekat tasawwuf dan meyakini aqidah Wahdah al Wujud dan Hulul. Al Imam ath-Thahawi juga mengatakan “Barangsiapa menyifati Allah dengan salah satu sifat manusia maka ia telah kafir”. Di antara sifat-sifat manusia adalah bergerak, diam, turun, naik, duduk, bersemayam, mempunyai jarak, menempel, berpisah, berubah, berada pada satu tempat dan arah, berbicara dengan huruf, suara dan bahasa dan sebagainya. Maka orang yang mengatakan bahwa bahasa Arab atau bahasa-bahasa selain bahasa Arab adalah bahasa Allah atau mengatakan bahwa kalam Allah yang azali tidak mempunyai permulaan dengan huruf, suara atau semacamnya, dia telah menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya. Dan barang siapa yang menyifati Allah dengan salah satu dari sifat-sifat manusia seperti yang tersebut di atas atau semacamnya ia telah terjerumus dalam kekufuran. Begitu juga orang yang meyakini Hulul dan Wahdah al Wujud telah menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya. Aqidah Imam Abul Hasan al Asy’ari Al Imam Abu al Hasan al Asy’ari W. 324 H –semoga Allah meridlainya- berkata “Sesungguhnya Allah ada tanpa tempat” diriwayatkan oleh al Bayhaqi dalam al Asma wa ash-Shifat.1 Beliau juga mengatakan 1 Ini adalah salah satu bukti yang menunjukkan bahwa kitab al Ibanah yang dicetak dan tersebar sekarang dan dinisbatkan kepada al Imam Abu al Hasan al Asy’ari telah banyak dimasuki sisipan-sisipan palsu dan penuh kebohongan, maka hendaklah dijauhi kitab tersebut. “Tidak boleh dikatakan bahwa Allah ta’ala di satu tempat atau di semua tempat”. Perkataan al Imam al Asy’ari ini dinukil oleh al Imam Ibnu Furak W. 406 H dalam karyanya al Mujarrad. Ayat Muhkamat dan Mutasyabihat Al Imam Ahmad ar-Rifa’i W. 578 H dalam al Burhan al Muayyad berkata “Jagalah aqidah kamu sekalian dari berpegang kepada zhahir ayat al Qur’an dan hadits Nabi Muhammad shallallahu alayhi wasallam yang mutasyabihat sebab hal ini merupakan salah satu pangkal kekufuran”. Mutasyabihat artinya nash-nash al Qur’an dan hadits Nabi Muhammad shallallahu alayhi wasallam yang dalam bahasa arab mempunyai lebih dari satu arti dan tidak boleh diambil secara zhahirnya, karena hal tersebut mengantarkan kepada tasybih menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya, akan tetapi wajib dikembalikan maknanya sebagaimana perintah Allah dalam al Qur’an pada ayat-ayat yang Muhkamat, yakni ayat-ayat yang mempunyai satu makna dalam bahasa Arab, yaitu makna bahwa Allah tidak menyerupai segala sesuatu dari makhluk-Nya. Ayat Istiwa’ Di antara ayat-ayat Mutasyabihat yang tidak boleh diambil secara zhahirnya adalah firman Allah ta’ala surat Thaha 5 Ayat ini tidak boleh ditafsirkan bawa Allah duduk jalasa atau bersemayam atau berada di atas Arsy dengan jarak atau bersentuhan dengannya. Juga tidak boleh dikatakan bahwa Allah duduk tidak seperti duduk kita atau bersemayam tidak seperti bersemayamnya kita, karena duduk dan bersemayam termasuk sifat khusus benda sebagaimana yang dikatakan oleh al Hafizh al Bayhaqi W. 458 H, al Imam al Mujtahid Taqiyyuddin as-Subki W. 756 H dan al Hafizh Ibnu Hajar W. 852 H dan lainnya. Kemudian kata istawa sendiri dalam bahasa Arab memiliki 15 makna. Karena itu kata istawa tersebut harus ditafsirkan dengan makna yang layak bagi Allah dan selaras dengan ayat-ayat Muhkamat. Berdasarkan ini, maka tidak boleh menerjemahkan kata istawa ke dalam bahasa Indonesia dan bahasa lainnya karena kata istawa mempunyai 15 makna dan tidak mempunyai padan kata sinonim yang mewakili 15 makna tersebut. Yang diperbolehkan adalah menerjemahkan maknanya, makna kata istawa dalam ayat tersebut adalah qahara menundukkan atau menguasai. Dengan ini diketahui bahwa tidak boleh berpegangan kepada “al Qur’an dan Terjemahnya” yang dicetak oleh Saudi Arabia karena di dalamnya banyak terdapat penafsiran dan terjemahan yang menyalahi aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah seperti ketika mereka menerjemahkan istawa dengan bersemayam, padahal Allah maha suci dari duduk, bersemayam dan semua sifat makhluk. Mereka juga menafsirkan Kursi dalam surat al Baqarah255 dengan tempat letak telapak kaki-Nya, padahal Allah maha suci dari anggota badan, kecil maupun besar, seperti ditegaskan oleh al Imam ath-Thahawi dalam al Aqidah ath-Thahawiyyah. Al Imam Ali –semoga Allah meridlainya- mengatakan “Sesungguhnya Allah menciptakan Arsy untuk menampakkan kekuasaan-Nya bukan untuk menjadikannya tempat bagi Dzat-Nya”. Maka ayat tersebut di atas surat Thaha 5 boleh ditafsirkan dengan qahara menundukkan dan menguasai yakni Allah menguasai Arsy sebagaimana Dia menguasai semua makhluk-Nya. Karena al Qahr adalah merupakan sifat pujian bagi Allah. Dan Allah menamakan dzat-Nya al Qahir dan al Qahhar dan kaum muslimin menamakan anak-anak mereka Abdul Qahir dan Abdul Qahhar. Tidak seorangpun dari umat Islam yang menamakan anaknya Abd al jalis al jalis adalah nama bagi yang duduk. Karena duduk adalah sifat yang sama-sama dimiliki oleh manusia, jin, hewan dan malaikat. Penafsiran di atas tidak berarti bahwa Allah sebelum itu tidak menguasai arsy kemudian menguasainya, karena al Qahr adalah sifat Allah yang azali tidak mempunyai permulaan sedangkan arsy adalah merupakan makhluk yang baru yang mempunyai permulaan. Dalam ayat ini, Allah menyebut arsy secara khusus karena ia adalah makhluk Allah yang paling besar bentuknya. Riwayat yang Sahih dari Imam Malik tentang Ayat Istiwa’ Al Imam Malik ditanya mengenai ayat tersebut di atas, kemudian beliau menjawab Maknanya “Dan tidak boleh dikatakan bagaimana dan al kayf /bagaimana sifat-sifat benda mustahil bagi Allah”. diriwayatkan oleh al Hafizh al Bayhaqi dalam kitabnya al Asma wa ash-Shifat Maksud perkataan al Imam Malik tersebut, bahwa Allah maha suci dari semua sifat benda seperti duduk, bersemayam dan sebagainya. Sedangkan riwayat yang mengatakan wal Kayf Majhul adalah tidak benar. Penegasan Imam Syafi’i tentang Orang yang Berkeyakinan Allah duduk di atas Arsy Ibn al Mu’allim al Qurasyi W. 725 H menyebutkan dalam karyanya Najm al Muhtadi menukil perkataan al Imam al Qadli Najm ad-Din dalam kitabnya Kifayah an-Nabih fi Syarh at-Tanbih bahwa ia menukil dari al Qadli Husayn W. 462 H bahwa al Imam asy-Syafi’I menyatakan kekufuran orang yang meyakini bahwa Allah duduk di atas arsy dan tidak boleh shalat makmum di belakangnya. Ulama Ahlussunnah yang Mentakwil Istiwa’ Kalangan yang mentakwil istawa dengan qahara adalah para ulama Ahlussunnah Wal Jama’ah. Di antaranya adalah al Imam Abdullah ibn Yahya ibn al Mubarak W. 237 H dalam kitabnya Gharib al Qur’an wa Tafsiruhu, al Imam Abu Manshur al Maturidi al Hanafi W. 333 H dalam kitabnya Ta’wilat Ahlussunnah Wal Jama’ah, az-Zajjaj, seorang pakar bahasa Arab W. 340 H dalam kitabnya Isytiqaq Asma Allah, al Ghazali asy-Syafi’i W. 505 H dalam al Ihya, al Hafizh Ibn al Jawzi al Hanbali W. 597 H dalam kitabnya Daf’u Syubah at-Tasybih, al Imam Abu Amr ibn al Hajib al Maliki W. 646 H dalam al Amaali an-Nahwiyyah, Syekh Muhammad Mahfuzh at-Termasi al Indonesi asy-Syafi’i W. 1285-1338 H dalam Mawhibah dzi al Fadll, Syekh Muhammad Nawawi al Jawi al Indonesi asy-Syafi’i W. 1314 H-1897 dalam kitabnya at-Tafsir al Munir dan masih banyak lagi yang lainnya. Inkonsistensi Orang yang Memahami Ayat Istiwa’ secara Zhahirnya Dan orang yang mengambil ayat mutasyabihat ini secara zhahirnya, apakah yang akan ia katakan tentang ayat 115 surat al Baqarah Jika orang itu mengambil zhahir ayat ini berarti maknanya “ke arah manapun kalian menghadap, di belahan bumi manapun, niscayaAllah ada di sana”. Dengan ini berarti keyakinannya saling bertentangan. Akan tetapi makna ayat di atas bahwa seorang musafir yang sedang melakukan shalat sunnah di atas hewan tunggangan, ke arah manapun hewan tunggangan itu menghadap selama arah tersebut adalah arah tujuannya maka – فثم وجه الله – di sanalah kiblat Allah sebagaimana yang dikatakan oleh Mujahid W. 102 H murid Ibn Abbas. Takwil Mujahid ini diriwayatkan oleh al Hafizh al Bayhaqi dalam al Asma’ Wa ash-Shifat. This entry was posted on 26 December 2009 at 429 am and is filed under Aqidah. You can follow any responses to this entry through the RSS feed. You can leave a response, or trackback from your own site.